Massa Aliansi Jurnalis Semarang Buat Aksi Kamisan di Polda Jateng Suarakan Tolak Kekerasan Terhadap Wartawan

Massa Aliansi Jurnalis Semarang Buat Aksi Kamisan di Polda Jateng Suarakan Tolak Kekerasan Terhadap Wartawan
Aksi kamisan di depan Mapolda Jateng dilakukan massa gabungan dari jurnalis dan aliansi masyarakat sipil Semarang yang menyuarakan aksi kekerasan terhadap jurnalis, Kamis (17/4).

PANTURA24.COM, SEMARANG – Massa jurnalis dan aliansi masyarakat sipil Kota Semarang melakukan aksi kamisan di Mapolda Jateng. Kedatangan massa gabungan tersebut bermaksud menyuarakan kekerasan yang kerap menimpa jurnalis yang marak terjadi.

Berbagai tulisan dukungan kepada jurnalis maupun kecaman terhadap pelaku kekerasan dibentangkan oleh massa yang memenuhi depan Mapolda Jateng sejak sore. Tulisan kecaman itu antara lain ‘Jurnlis bukan teroris’ dan ‘Journalist is not a crime, brutality is’.

Sedangkan bentuk dukungan massa aksi terhadap kerja jurnalis juga tertulis ‘Save Jurnalis’. Adapun tema aksi kamisan yang disinggung pada sore itu adalah ‘Kalau Aparat Berani Nempeleng Jurnalis, Artinya Demokrasi Sedang Terancam’.

Koordinator aksi, Raditya Mahendra mengatakan, aksi kamisan ini berkaitan dengan peristiwa kekerasan yang diperlihatkan oleh ajudan Kapolri pada Sabtu 5 April 2025 di mana salah satu korbannya adalah pewarta foto dari Kantor Berita Antara.

“Peristiwa kemarin itu merupakan salah satu contoh bagaimana represifnya aparat terhadap rekan kami. Begitulah gambaran bagaimana kekerasan selalu dilakukan oleh aparat seperti polisi, TNI, aparat negara maupun pemda dan sebagainya,” ujarnya di Mapolda Jateng, Kamis 17 April 2025.

Akibat dari kekerasan yang menimpa anggotanya, Pewarta Foto Indonesia (PFI) mengutuk aksi kekerasan terhadap jurnalis oleh ajudan Kapolri tersebut. Peristiwa kekerasan itu merupakan pelanggaran Pasal 18 ayat (1) UU RI Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.

“Sore ini, hanya ada satu kata. Angkat kamera kalian tinggi-tinggi kawan-kawan jurnalis. Kita akan teriakkan ‘Lawan! Lawan represi, lawan intimidasi, hidup jurnalis!” teriaknya dengan keras.

Sementara itu Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Semarang Aris Mulyawan menambahkan bahwa kebebasan pers pada saat ini kondisinya sangat memprihatinkan dan sudah terkikis.

“Saat ini Jateng darurat kebebasan pers, darurat keamanan bagi jurnalis. Belakangan ini kekerasan terhadap jurnalis makin meningkat,” ujar Aris dalam orasinya.

Ia menyebut, kekerasan tak hanya menimpa para jurnalis media mainstream atau arus utama, akan tetapi juga menyasar anggota pers mahasiswa. Artinya tidak hanya jurnalis profesional, namun pers mahasiswa juga mengalami hal yang sama, diintimidasi.

“Bila jurnalis sudah diintimidasi maka ketika itu pula kebebasan berpendapat dibungkam. Ketika kebebasan akademik dihabisi, maka menjadi tanda demokrasi di negeri ini sudah mati,” tegasnya.

Ari berpesan, sebagai bagian dari pilar demokrasi di Indonesia, maka jurnalis tidak boleh diam. Artinya sebelum kehancuran menimpa negeri ini maka jurnalis perlu bersatu melawan penindasan sekaligus melakukan perlawanan terhadap ketidakadilan.

Di kesempatan yang sama pengacara publik dari LBH Semarang, Fajar Muhammad Andhika menyoroti aparat kepolisian yang bertindak represif dan intimidatif terhadap jurnalis menjadikan pertanda kehidupan berdemokrasi di Indonesia sudah terancam.

“Ini menjadi sinyal bahwa demokrasi kita sedang berada di bawah bayang-bayang rezim otoritanian dan militeristik,” katanya dalam orasi.

Aksi kamisan di Mapolda Jateng diakhiri dengan menyalakan dupa di atas makam buatan bertuliskan ‘RIP Demokrasi’ dilanjutkan dengan menabur bunga di atasnya sebagai simbol demokrasi di Indonesia telah mati.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *