BPN Kota Pekalongan Sebut Tanah SHGB Jadi Objek Sengketa Status Quo Atau Milik Negara, Keluarga Terdakwa Tepuk Tangan

BPN Kota Pekalongan Sebut Tanah SHGB Jadi Objek Sengketa Status Quo Atau Milik Negara, Keluarga Terdakwa Tepuk Tangan
LBH Ashyaksa dan tim penasehat hukum Lanny Setyowati (74) dan ketiga anaknya didampingi sejumlah LSM beraudensi dengan BPN Kota Pekalongan, Rabu (3/7).

PANTURA24.COM, KOTA PEKALONGAN – Upaya terdakwa Lanny Setyowati (74) dan ketiga anaknya mencari keadilan berlanjut di luar sidang. Didampingi tim penasehat hukum dan tim LBH Adhyaksa berikut sejumlah LSM, perwakilan keluarga tersebut mendatangi Kantor Agraria dan Tata Ruang Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Kota Pekalongan.

Kedatangan perwakilan keluarga dari terdakwa kasus pidana sengketa tanah itu bermaksud menanyakan sejumlah kejanggalan dalam pengurusan sertifikat SHGB oleh penggugat, yakni Felly Anggraini Tandapranata (72).

“Dalam perhitungan kami munculnya sertifikat SHGB dari ahli waris sejak 1981 itu masa perpanjangannya lagi 30 tahun berarti habis di 2011. Tapi BPN menghitung 2021, ok kita terima berarti sejak 2021 sampai 2024 bahkan perkara ini bergulir tanah tersebut status quo,” ujar Dr.Nasokha.S.H,M.H Ketua Tim Penasehat Hukum terdakwa usai audensi, Rabu (3/7/2024).

Dengan adanya status quo itu orang itu tidak memiliki hak untuk melaporkan bahwa itu pelanggaran Pasal 6 perbuatan melawan hukum atas Pasal 167 KUHP. Jadi tujuan audensi hari ini edukasi bagi teman-teman LSM tapi di sisi lain keterangan dari BPN harapannya bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan semua yang hadir.

Tadi juga bisa didengar keterangan BPN juga setuju bahwa ada peristiwa perkara perdata yang muncul sehingga memang harus diselesaikan terlebih dahulu dan tidak mencampuradukan perkara perdata dengan perlara pidana, namun faktanya keduabperkara berjalan berbarengan.

“Mestinya perkara perdata diselesaikan dahulu baru pidanya. Sesuai dengan amanah peraturan dari Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1956 bahwa apabila ada perkara-perkara perdata yang dibarengkan dengan pidana maka perkara pidana harus ditangguhkan, itu yang menjadi kunci,” jelasnya.

Ia pun menegaskan bahwa ini bukan perbuatan pidana tapi perdata, jadi perbuatannya ada tapi bukan pidana karena semua diawali dari perjanjian atau kesepakatan. Semua bisa dilihat itu perjanjian dan kesepakatan, antahlah itu dikatakan jual beli ada tiga sertifikat kenapa ditebus satu kok mau.

“Ini kan berarti pinjam lalu dikembalikan satu dengan membayar Rp 2023 juta. Termasuk tadi kan klaim dari BPN ada kuasa untuk perubahan nama kepemilikan dari Lukito ke Tandapranata akan tetapi tidak bisa dibuktikan adanya tanda tangan persetujuan tertulis buka verbal dari ahli waris dalam hal ini Lanny Setyawati dan ketiga anaknya, pihak BPN mengatakan hanya menerima berkas dari notaris atau PPAT saja,” beber Nasokha.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Pekalongan itu menjelaskan bahwa di dalam KUHPerdata menyebutkan apabila terjadi perubahan nama atau balik nama atas bidang tanah kalau sudah suami istri maka keduanya harus membukukan tanda tangan bukti persetujuan bukan hanya lisan saja akan tetapi juga tertulis. Dalam hal ini ahli waris tidak menandatangani proses Akad Jual Beli (AJB) yang dibuat oleh notaris.

“Di dalam persidangan pun surat itu tidak diperlihatkan bahkan sekilas langung ditarik lagi. Berarti ada kekhawatiran di situ, mestinya istri tak perlu ada surat kuasa karena datang saja bisa. Logikanya kan seperti itu,” urainya.

Nasokha menambahkan dari gambaran tersebut berarti ada yang memang disembunyikan, kata-kata disembunyikan ini baerati dengan tanda kutip bahwa itu sepenuhnya tidak disetujui oleh istri, dirinya berkesimpulan kalau disetujui mengapa harus menggunakan surat kuasa, kan bisa datang terus tanda tangan tapi nyatanya ada surat kuasa dan surat kuasanya itu tidak bisa dibuktikan di pengadilan dan di audensi dengan BPN.

“Artinya kalau proses balik nama BPN kan harus punya dokumen, kan ini tidak ada dokumennya. Katanya BPN diambil Polda dan kejaksaan semua sebagai bukti, kan itu bisa dimintakan kembali seperti itu,” kata Nasokah menjabarkan.

Kesimpulannya, lanjut Nasokha, bahwa pihaknya datang ke BPN Kota Pekalongan untuk menanyakan beberapa hal terkait dengan proses balik nama dari perkara SHGB di Jalan Kartini yang oleh BPN dinyatakan sebagai tanah status quo dan haknya dikembakikan lagi ke negara.

Sementara itu Kepala seksi pengendalian dan penanganan sengketa, Kantor Pertanahan (Kantah) Kota Pekalongan, Maryanto membantah argumen yang disampaikan oleh Tim Penasehat Hukum terdakwa Lanny Setyawati dan ketiga anaknya dengan dalih tanda tangan istri sudah dikuasakan ke suami.

“Kami ini hanya menerima berkas lengkap dari PPAT termasuk adanya surat kuasa dari istri ke suaminya sehingga tanda tangan Lanny Setyawati tidak muncul di AJB,” sebutnya.

Ia pun mengaku tidak bisa mengomentari lebih banyak terkait perkara tersebut karena semua kesaksian dirinya dan mantan pegawai BPN Kota Pekalongan yang sudah pindah tugas ke Cilacap sudah disampaikan semua di dalam sidang.

“Kami juga menyampaikan rasa prihatin kepada keluarga Lanny Setyawati namun sekali lagi kami ini hanya petugas pencatat, tugas kami hanya mencatat. Kami juga hanya menerima berkas dari PPAT karena PPAT itu memiliki tanggung jawab pribadi,” katanya.

Adapun terkait status tanah SHGB nomor 37 dan 38 yang dipermasalahkan itu masa berakhirnya pada 16 Mei 2021 lalu sehingga status tanah tersebut menjadi milik negara akan tetapi tidak bebas begitu saja karena masih ada bekas pemilik.

“Lalu apakah bisa diperpanjang, bisa diperpanjang dengan prioritas ke pemilik sebelumnya namun tetap harus menunggu putusan tetap dari pengadilan,” tutupnya.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *