PANTURA24.COM, KOTA PEKALONGAN – Sidang lanjutan perkara sengketa tanah dengan terdakwa Lani dan ketiga anaknya melawan penggugat Felly Anggraini Tandapranata berlangsung di Pengadilan Negeri (PN) Pekalongan. Dalam sidang ketiga itu Jaksa Penuntut Umum (JPU) menghadirkan dua saksi, yakni Ida Yuliago selaku notaris sekaligus Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dan mantan Kepala Bidang (Kabid) Pengendalian dan Penanganan Sengketa BPN Kota Pekalongan, Heru Setiawan.
Sidang dipimpin oleh Ketua Majelis Hakim Agus Maksum Mulyo Hadi dengan agenda mendengarkan keterangan saksi. Dalam keterangannya saksi pertama
Ida Yuliago mengaku menerbitkan akta pengikatan jual beli sebagai dasar sahnya proses jual beli.
“Karena tanah tersebut masih menjadi jaminan di bank dan belum diroya maka kita buatkan akta pengikat bagi kedua belah pihak,” katanya dalam sidang, Selasa (16/4/2024).
Ia mengaku menyaksikan pada saat kliennya Hidayat Tandapranata melakukan proses pelunasan di Bank BRI pada 1994 sebesar Rp 203 juta. Selanjutnya untuk mempermudah proses Akad Jual Beli (AJB) dan perpajakan maka dibuatlah akta pengikat jual beli di mana tiga tanah yang sudah dilunasi itu masing-masing seharga Rp 5 juta, 10 juta dan Rp 20 juta.
Kemudian setelah itu dibuat juga akta perjanjian pinjam pakai kepada Lutiarso Lukito (alm suami Lany) pada 1997 dan di dalam perjanjian itu disebutkan masa pinjam pakai akan berakhir bila yang bersangkutan meninggal dunia.
“Karena keduanya ada hubungan pribadi tidak ada pembayaran dalam perjanjian pinjam pakai dan saya baru tahu kalau Pak Lukito telah meninggal tahun 2021,” jelas Ida.
Mantan Kabid Pengendalian dan Penanganan Sengketa BPN Kota Pekalongan, Heru Setiawan mengatakan bahwa pihaknya tidak mengabulkan permohonan perpanjangan Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) yang dilakukan Felly Anggraini sebagai ahli waris dari Hidayat Tandapranata sehingga menjadi status quo.
“Tanahnya kembali menjadi hak negara. Karena ada sanggahan, proses perpanjangan SHGB ditunda,” ujarnya.
Di luar sidang pejabat yang sudah berpindah tugas di BPN Cilacap tersebut kembali menegaskan bahwa meskipun permohonan perpanjangan SHGB ditunda dan status quo namun karena ada bukti formil maka sertifikat yang sudah terbit itu sah.
Pihaknya saat ini masih menunggu putusan pengadilan demi menghormati proses peradilan yang masih berlangsung. Adapun terkait adanya sanggahan dirinya mempersilahkan karena status quo itu justru bagian dari penghormatan kepada keluarga Bu Lany dan ketiga anaknya.
“Kita ini bukan lembaga yang menentukan materi, kita cuman administrasi, BPN itu admisitrasi. Jadi kalau ada perintah pengadilan ini yang sudah incraht, oke akan kita laksanakan,” ujarnya.
Kuasa hukum dari Ida Yuliago, Arif NS menambahkan bahwa dalil utang piutang sudah diuji di perkara perdata di PN Cirebon. Bahkan kedua belah pihak sudah diberikan kesempatan menghadirkan saksi serta bukti surat dan putusan yang dihasilkan sudah sah. Demikian juga dengan putusan banding di PN Bandung menguatkan putusan sebelumnya.
“Jadi kalau sampai suatu saat kok ada novum baru, misalnya nih novumnya apa nih sampaikan saja, masing-masing punya hak dan dilindungi oleh hukum jadi kita obyektif,” sebutnya.
Sementara itu penasehat hukum terdakwa Lany serta ketiga anaknya, Nasokha dan partner mengungkap keterangan yang disampaikan kedua saksi tidak bisa dibenarkan seperti proses balik nama tanpa melibatkan pasangan suami-istri sekalipun ada surat kuasa secara umum tidaklah lazim dan tidak diperbolehkan. Dalil di pasal perdatanya pun ada.
Jadi dengan adanya keterangan yang disampikan saksi pertama seolah-olah notaris melegalkan itu semua. Bahkan notaris juga memberikan keterangan harga tanah yang sengaja dikecilkan dengan harga Rp 5 juta, 10 juta dan Rp 20 juta hanya untuk mengakali pajak.
“Kami sayangkan seolah itu sudah menjadi bahasa umum. Hal seperti ini mestinya tidak perlu disampaikan di depan pengadilan. Namun nyatanya, karena mungkin dia kehabisan ngomongan, sehingga menjadi contoh tidak baik atau preseden buruk bagi sistem peradilan kita yang berkaitan dengan masalah pertanahan,” papar Nasokha.
Ia pun khawatir apa yang terungkap di persidangan bisa membuat mafia pertanahan akan banyak melakukan cara yang sama untuk mengecilkan nilai pajak. Ironisnya justru notaris itu mengatakan dengan lantang kalau hal itu sudah umum dilakukan.
Di sisi lain dari BPN saat ditanya terkait SHGB di mana kepemilikannya punya jangka waktu tertentu, pertama selama 30 tahun kemudian bisa diperpanjang lagi 20 tahun. SHGB pertama milik Lukito terbit pada 1981 sehingga harus diperpanjang lagi maksimal pada 2011, lalu muncul pertanyaan hak kepimilikannya ke siapa.
“Saksi dari BPN saat itu jadi Kabid Sengketa mengatakan sesuatu tanpa didalandasi aturan hukum yang jelas. karena itu dia tidak bisa membuktikan pernyataan lisannya berdasarkan UU atau Perpres, jadi tidak bisa dibuat patokan hukum. Saat dia menyebut masa perpanjangan kalau tidak dilakukan berarti status kepemilikan tanahnya menjadi status quo atau tidak ada yang memiliki sehingga semua kembali menjadi milik negara,” bebernya.
Nasokha menjelaskan pada kasus pidana tersebut, bila itu benar terjadi maka pengaduan yang dilakukan penggugat kepada Lanny Setyawati beserta ketiga anaknya secara pidana sudah gugur karena legal standingnya tidak ada. Hal itu terjadi lantaran status kepemilikan tanah bukan menjadi milik Fely, Freddy dan Yuliana namun tanah menjadi milik negara. Jadi mereka itu melaporkan tanah milik negara.
Selanjutnya apakah sertifikat yang telah berganti nama sah menjadi milik pihak terdakwa atau tidak, Nasokha menyebut itu bukan kewenangan pengadilan namun menjadi ranah PTUN.
“Perkara ini kalau melihat kronologinya memang punya kecenderungan pada perkara perdata. Mudah-mudahan nanti bisa diunclah, harapan kami karena perkara ini diawali dengan perjanjian yang masuk dalam hukum perikatan dan masuk dalam hukum perdata, sehingga kalau dipaksakan ke pidana, saya rasa hakim juga punya pertimbangan,” tutupnya. (*)