PANTURA24.COM, KOTA PEKALONGAN – Keluarga ahli waris dari almarhum Kadar dan Kamaliyah masih menunggu itikad baik dari pihak kantor notaris terkenal di Kota Pekalongan yang diduga menghilangkan satu dari tiga sertifikat tanah yang diurus di kantor tersebut.
Direktur LBH Adhyaksa, Didik Pramono S.H yang menjadi kuasa hukum dari Sri Astutik (52) beserta empat saudaranya mengatakan bahwa keluarga ahli waris telah mempertimbangkan untuk menempuh jalur hukum terkait hilangnya sertifikat tanah tersebut.
“Sejauh ini keluarga ahli waris telah cukup bersabar menunggu upaya dari pihak notaris yang dirasakan lambat responnya bahkan terkesan menyepelekan tanggung jawabnya,” ujar Didik melalui sambungan telepon, Jum’at (5/4/2024).
Ia mengungkapkan sikap menyepelekan persoalan yang diperlihatkan pihak notaris selama berbulan-bulan kepada kliennya telah menguatkan dugaan ada yang ditutupi atau disembunyikan dari keberadaan sertifikat tanah yang dimaksud.
Pihak notaris tidak pernah memberikan respon yang positif dan bila tidak dikejar atau didesak untuk menyelesaikan tidak bergerak seperti melapor kepada pihak berwajib maupun memproses ulang sertifikat tanah yang hilang tersebut
“Keluarga ahli waris mengaku sudah habis kesabarannya dan mempertimbangkan untuk menempuh jalur hukum agar ada kejelasan nasib,” jelasnya.
Didik menyebut informasi terbaru yang ia terima, pihak notaris sudah membuat laporan ke polisi setelah beberapa kali mengabaikan kesepakatan seperti kerab beralasan dan beberapa kali meminta perpanjangan waktu hanya untuk sekedar membuat laporan ke polisi.
Adapun sertifikat tanah yang dilaporkan hilang itu
bernomor 01518 dengan status hak milik atas nama almarhum Kadar dan Kamaliyah seluas 2077 meter persegi. Sertifikat tanah itu diurus sejak proses split pada 2018 hingga sekarang tidak ada kejelasannya.
Pihaknya prihatin pernyataan dari kantor notaris hanya mengatakan hilang tanpa disertai alasan yang logis bahkan terang-terangan tidak mau terlibat dengan dalih tidak merasa memproses sertifikat tanah yang dimaksud.
“Lalu setelah kami lakukan pendekatan kekeluargaan mereka berjanji akan bertanggungjawab disaksikan oleh semua yang diduga terlibat, bahkan sempat pula yang bersangkutan itu membawa-bawa nama oknum polisi untuk membantu membuatkan surat laporan kehilangan demi meyakinkan ahli waris,”ungkap Didik.
Didik pun menjelaskan bahwa pihaknya telah menempuh berbagai cara persuasif seperti menjalin komunikasi langsung maupun melalui sambungan telepon dan hasilnya bersepakat musyawarah di rumah pemilik notaris, namun semua itu ternyata tidak bisa diwujudkan sesuai komitmen bersama.
“Hal ini menguatkan kecurigaan kami apakah benar sertifikat tanah itu diduga telah berpindah tangan, diagunkan atau bahkan sudah dijual,” ujarnya.
Seperti diberitakan sebelumnya seorang ibu di Kota Pekalongan mengaku menjadi korban mafia tanah. Korban tertipu saat mengurus sertifikat tanah waris di sebuah Kantor Notaris terkenal, kini terduga pelaku saling lempar tanggungjawab.
“Awalnya tanah keluarga seluas 5.660 meter persegi dijual ke kontraktor bernama Pak Ghozali namun masih diberikan uang panjar sebesar Rp 100 juta,” ungkap Sri Astutik (52) istri ahli waris, Kamis (15/2/2024).
Belakangan, kata Astutik, tanah tersebut selama empat tahun dari 2015-2018 tidak kunjung dilunasi atau dibayar akhirnya semua ahli waris sepakat mencabut penjualan tanah. Lalu pihak pembeli melapor ke Aparat Penegak Hukum (APH)
Setelah itu dilakukan mediasi oleh APH, lalu muncul tawaran kesepakatan kepada ahli waris agar bersedia dipotong tanahnya seluas 1.300 meter persegi dengan dalih sebagai ganti biaya yang sudah dikeluarkan oleh pembeli.
“Jadi Pak Ghozali sebagai pembeli mengklaim telah menghabiskan biaya menguruk tanah itu sebesar Rp 500 juta belum termasuk biaya lainnya yang timbul. Padahal beliau itu belum sah jadi pemilik tanah, namun sudah berani bertindak seperti pemilik,” ujar Astutik kepada pantura24.com.
Kemudian informasi yang ia terima, tanah yang diklaim milik Ghozali itu sebagian juga sudah dijual lagi kepada petinggi BMT berinisial ZND, seluas 1300 meter persegi. Padahal tanah tersebut secara hukum kepemilikannya ada di ahli waris.
“Lalu tindaklanjut dari tawaran hasil mediasi, tanah seluas 5.660 atas nama almarhum Kadar dan Kamaliyah saya bawa ke notaris untuk diseplit jadi tiga sertifikat. Saat itu yang ngurus Abdul Kholiq, beliau itu karyawan sekaligus anak angkat Bu Notaris Laela. Bukti tanda terima ada stempel dan tandatangan Bu Laela,” bebernya.
Namun demikian lagi-lagi keluarga ahli waris jadi objek permainan seperti ketika hendak mengambil tiga sertifikat hasil split hanya ada dua sertifikat yang bisa diambil, satu sertifikat lainnya dikatakan hilang oleh pihak notaris.
“Saya tentu menolak menerima karena hanya dua sertifikat yang bisa diambil, sedangkan satu sertifikat dibilangnya hilang. Ini semua ada permainan apa,” tanya Astutik.
Padahal, lanjut Astutik, proses split itu dari 2018-2022. Jadi tiap kali keluarga ahli waris menanyakan sertifikat yang hilang itu tidak pernah mendapatkan kejelasan. Bahkan akhrnya muncul hal ganjil, luas tanah malah berkurang.
“Sebelum displit luas tanah 5.660, namun setelah dijadikan tiga sertifikat luasnya malah berkurang 206 meter persegi. Adapun tiga tanah itu luasnya 1300, 2077 dan 2077, kalau semuanya dijumlahkan luasnya hanya 5.454 meter persegi. Kemana yang 206 meter persegi lagi,” katannya dengan nada jengkel.
Belum selesai urusan sertifikat hilang dan tanah berkurang, muncul klaim pengajuan tanah dengan luasan yang sama atau 206 meter persegi dari pihak lain yang konon disebut-sebagai tanah tidak bertuan.
“Saya curiga ini bagian dari praktik mafia tanah karena korbannya tetap sama, yakni ahli waris dari almarhum Kadar dan Karmaliyah. Kami akhirnya berupaya untuk menghentikan ini termasuk akhirnya mengadu ke LBH Adhiyaksa,” tukas Astutik. (*)