PANTURA24.COM, Kota Pekalongan – Ahmad Suroso (60) berjualan bensin eceran sejak 1993 atau 31 tahun yang lalu. Warga Kelurahan Kandang Panjang, Kota Pekalongan itu membuka lapak di Jalan Tentara Pelajar mulai pukul 06.00-16.00 WIB
“Kalau pas lagi ramai ya tutup jam dua siang, tapi kalau sedang sepi jam empat sore baru tutup,” katanya saat ditemui pantura24.com, Sabtu (23/3/2024).
Kakek tiga cucu itu menuturkan ada seribu alasan mengapa memilih berjualan bensin eceran untuk menafkahi keluarganya, salah satunya karena mudah dilakukan dan lan:ggeng hingga tanpa terasa separuh hidup dihabiskan berjualan bensin eceran tanpa pernah pindah pekerjaan.
Ia mengaku awal berjualan bensin eceran masih di harga Rp 700. Pada saat itu pemerintah baru saja menaikkan harga BBM (premium-red) sebesar Rp 150 dari semula Rp 550 per liter.
“Awal berjualan dalam satu hari hanya laku 25 botol atau 25 liter saja. Lalu saya mulai berfikir bagaimana caranya meningkatkan omset,” ujarnya.
Hingga suatu ketika terbesit ide berjualan bensin dengan takaran penuh satu botol namun harganya sama dengan penjual bensin eceran lainnya. Hal itu dilatarbelakangi oleh pengalaman pribadi membeli bensin eceran yang isinya tidak penuh satu botol.
“Saya nggerundel dalam hati, begini ternyata rasanya beli bensin takarannya tidak satu botol penuh atau kurang dari satu liter. Akhirnya sejak saat itu saya putuskan jualan bensin dengan jujur tanpa mengurangi ukuran,” tuturnya.
Perlahan setelah mengubah jualan dari mengurangi takaran menjadi sesuai takaran omset jualan bensin pun mulai meningkat, untung sedikit namun laku lebih banyak. Pada saat itu rata-rata satu hari bisa terjual hingga 300 botol atau 300 liter per hari.
Jadi pada saat itu pemerintah sedang menaikkan harga bbm dari Rp 550 pada 1997 menjadi Rp 1.200 pada 1998. Kalau tidak salah terjadi pada peristiwa reformasi di mana semua harga naik menjadi dua kali lipatnya.
Di era 10 tahun pertama reformasi harga bbm terus melejit meski terkadang ada penurunan harga namun yang ia ingat pada 2009 harga bbm sudah mencapai Rp 5500 dan di eceran harga hampir seragam, yakni Rp 6000 lalu sempat turun di Rp 4.500.
“Saya jual eceran itu untungnya Rp 500 namun bensin yang terjual per hari rata-rata 250 hingga 300 botol. Berbeda dengan sekarang menurun jadi 100 botol perhari dengan keuntungan Rp 2000 per liter,” jelasnya.
Suroso mengungkap penyebab menurunnya omset penjual bensin eceran lantaran ada larangan pemerintah membeli bensin menggunakan dirijen. Alhasil bensin eceran sempat langka di pinggir jalan karena sulit membeli bensin dalam jumlah banyak.
“Dulu sebelum ada larangan membeli bbm menggunakan dirijen, penjual bensin eceran untung Rp 500 sudah alhamdulillah, sekarang untung Rp 2000 omset turun drastis,” bebernya.
Meski demikian berjualan dengan jujur tanpa mengurangi takaran menjadi berkah, pelanggan datang dari mana-mana karena kalau dihitung-hitung satu botol penuh itu isinya lebih dari satu liter, namun dijual Rp 12 ribu atau sama dengan eceran lainnya.
“Hasilnya alhamdulillah bisa menyekolahkan dua anak sampai selesai dan memperbaiki rumah yang tadinya tidak layak menjadi nyaman,” sebutnya. (*)