Divonis 18 Tahun, Dua Nelayan Wonokerto Pekalongan yang Didakwa Membunuh Cari Keadilan Siap Mengadu Ke Presiden dan Kapolri

Keluarga dan kerabat serta rekan-rekan dari dua terdakwa nelayan Wonokerto yang didakwa membunuh nelayan lain menggelar aksi siap mengadukan nasibnya ke presiden maupun kapolri, Selasa (23/1).

Pantura24.com, Pekalongan – Dua nelayan warga Kabupaten Pekalongan divonis 18 dan 17 tahun penjara oleh Pengadilan Negeri (PN) Pati. Dua nelayan itu didakwa membunuh seorang nelayan lain di Pelabuhan Juwana pada Juli 2023 lalu.

Atas vonis itu keluarga terdakwa berniat banding dan mencari keadilan karena yakin kerabatnya tidak melakukan pembunuhan seperti yang dituduhkan. Pihak keluarga menggelar konferensi pers untuk mengadukan kasusnya ke Presiden Joko Widodo dan Kapolri Jendral Listyo Sigit Prabowo.

Bacaan Lainnya

“Sebagai ibu dari Muhammad Sobirin merasa tidak terima anak saya dituduh membunuh lalu dihukum 18 tahun penjara,” isak Suyuti (54) kepada pantura24.com, Selasa (23/1/2024).

Warga Desa Bebel, Kecamatan Wonokerto itu mengungkapkan bahwa proses hukum yang dilalui anaknya itu terasa janggal dan tidak cukup alat bukti namun dipaksakan hingga berujung vonis.

Atas dasar kasus yang menimpa anaknya itu, dirinya bersama keluarga bermaksud mengadukan hal tersebut ke presiden dan kapolri untuk bisa mendapatkan keadilan dan mengungkap kasus yang sebenarnya.

“Anak saya tidak bersalah dan menjadi korban kesaksian palsu. Mohon kepada Bapak Presiden dan Bapak Kapolri untuk membantu membebaskan anak saya,” ucap Suyuti.

Sebelumnya kasus yang menimpa dua nelayan Wonokerto itu bermula dari temuan mayat pria yang badannya dipenuhi tato mengambang di Sungai Silugonggo, Kawasan Pelabuhan Juwana, Kabupaten Pati pada Kamis 6 Juli 2023.

Pihak berwajib menangkap kedua nelayan tersebut atas laporan rekan korban yang sama-sama ikut rombongan nelayan dari Wonokerto di Kapal Mina Maulana yang diminta berangkat menjemput hasil tangkapan ikan kapal lain di tengah laut untuk dilelang.

“Dua orang ini, pelapor dan korban merupakan titipan dari pengurus kapal lain yang diikutkan rombongan nelayan dari dua terdakwa ini,” terang Made salah satu kerabat dari Suyuti, ibu dari terdakwa Muhammad Sobirin (38).

Ia menjelaskan sebelum kapal berangkat pada Selasa 5 Juli 2023 korban tidak ditemukan berada di kapal hingga akhirnya dilaporkan ke pengurus (motoris) lalu dilakukan pencarian tetap tidak ditemukan.

Karena kapal tetap harus berangkat akhirnya korban yang bernama Khoirul Anam ditinggalkan atas perintah pengurus karena dianggap sudah menerima uang panjar lalu menghilang.

“Hingga akhirnya pada Rabu 6 Juli 2023 pagi, KM Mina Maulana berangkat meninggalkan pelabuhan tanpa ada korban,” jelasnya.

Belum lagi sampai tujuan, lanjutnya, pada Kamis 6 Juli 2023 ada panggilan radio yang meminta kapal putar balik ke pelabuhan karena ada kabar temuan mayat nelayan yang menjadi Anak Buah Kapal (ABK) dari KM Mina Maulana.

Dari informasi yang dikumpulkan kondisi mayat sudah mulai membusuk namun hasil pemeriksaan tidak ditemukan tanda-tanda luka akibat kekerasan fisik. Jasad korban yang dipenuhi tato juga tidak dalam keadaan terikat tangannya.

“Akhirnya sembilan awak kapal termasuk pelapor diperiksa oleh otoritas setempat selama sepekan lalu disuruh pulang,” bebernya.

Setelah pulang, beberapa hari kemudian diperiksa lanjutan dari mulai Pukul 09.00 pagi hingga malam dan kembali diminta pulang. Namun ironisnya dalam perjalanan pulang dicegat lalu dua orang nelayan Muhammad Sobirin dan Casmui ditangkap lalu ditetapkan sebagai tersangka.

Singkat cerita kedua nelayan nahas tersebut dijadikan terdakwa dan semula dijerat dengan Pasal 351 lalu berubah menjadi Pasal 340. Disebutkan Pasal 340 itu penganiayaan yang dilakukan secara berencana.

Kemudian muncul permintaan penasehat hukum untuk menghadirkan saksi namun tidak diizinkan dengan alasan saksi oleh penyidik sudah disumpah pada saat pemeriksaan.

“Akhirnya Hakim menerima seperti itu lalu berlanjut terus sampai dengan pemeriksaan ke polygraph atau tes kebohongan. Itu ditanyakan oleh penasehat hukum apakah sah kalau tidak didampingi oleh penasehat hukum kan seperti itu,” beber Made.

Kemudian alat bukti yang dijadikan dasar untuk mentersangkakan kedua nelayan itu juga tidak ditemukan. Kesaksian pelapor ada alat pemukul, informasinya dibuang namun tetap saja tidak ditemukan. Lalu untuk saksi hanya ada satu, itupun pelapor sendiri.

“Pengakuan pelapor korban dipukul di belakang kepala lalu diinjak-injak oleh Muhammad Sobirin kemudian meminta bantuan Casmui. Padahal hasil pemeriksaan jasad korban tidak ada tanda kekerasan bahkan media setempat awalnya menuliskan itu dalam pemberitaannya,” ungkapnya.

Pengakuan ke tujuh ABK dan satu nahkoda tidak mendengar ada keributan pada malam kejadian. Semua ABK mengaku tidur dan tidak menyaksikan adanya peristiwa yang menimpa korban Khoirul Anam seperti kesaksian pelapor.

“Di persidangan pun para terdakwa menyebut kesaksian pelapor palsu, terdakwa kekeh tidak melakukan seperti yang dituduhkan,” sebutnya.

Ia menguraikan di dalam persidangan semua diungkap mulai dari forensik, polygraph, kesaksian identifikasi, masalah sidik jari dan masih banyak lainnya namun hakim tetap memutus Muhammad Sobirin 18 tahun penjara dan Casmui 17 tahun penjara.

“Kami mengajukan banding dan akan tetap terus berusaha mencari keadilan agar anak dan saudara kami dibebaskan demi hukum,” tegasnya.

Sementara itu Didik Pramono dari LBH Adhyaksa yang menjadi pendamping kedua nelayan Wonokerto yang divonis 18 dan 17 tahun penjara akan melakukan pengawalan hingga kasus yang menimpa kliennya mendapatkan keaadilan.

“Kita akan lakukan pendampingan agar kasus ini bisa menjadi perhatian semua pihak bahwasannya kedua nelayan ini tidak bersalah,” pungkasnya. (*)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *