Pantura24.com, Kota Pekalongan – Belasan nelayan dan anggota keluarganya mendatangi Kantor Wali Kota Pekalongan. Kedatangan keluarga nelayan yang menjadi korban bantuan hibah menjadi utang itu untuk menuntut pengembalian sertifikat tanah yang dijaminkan.
“Hasil tangkapan ikan saya dipotong 10 persen saat lelang selama dua tahun lebih. Harusnya itu sudah lunas kalau itu benar utang,” ungkap Suntono (68) nelayan warga Pantaisari saat mediasi, Kamis (18/1/2024).
Ia mengaku saat menerima bantuan hibah diminta meninggalkan jaminan oleh oknum pengurus koperasi nelayan. Tidak hanya itu, pendapatannya juga dipotong tiga sampai empat kali tiap bulannya saat melakukan lelang.
Suntono mengungkapkan pada saat menerima bantuan hibah tidak ada pemberitahuan sebagai utang dan tidak tidak ada pihak bank pada saat itu. Yang ada dirinya malah diminta diam ikut arahan dan tidak boleh banyak protes.
“Saya oleh almarhum Pak Rasjo disuruh diam tak boleh banyak mulut. Dia minta jaminan seadanaya seperti BPKB motor atau sertifikat agar uang Rp 20 juta bisa dicairkan,” ucapnya.
Pengakuan yang sama juga diungkapkan oleh Hertin (55) janda nelayan yang suaminya meninggalkan jaminan dua sertifikat dengan harapan dapat bantuan hibah lebih banyak namun yang diterima jumlahnya tetap sama.
“Suami saya sudah lama meninggal dan dua sertifikat tanah yang dijaminkan belum juga dikembalikan,” ujarnya.
Pendamping keluarga nelayan korban dana hibah dari Ormas Bintang Adhyaksa 23, Didik Pramono menyebut perubahan sepihak bantuan hibah menjadi pinjaman tidak disertai dengan sosialisasi apapun yang bisa meyakinkan nelayan bahwa itu utang bukan hibah.
Kemudian potongan 10 persen dari hasil lelang nelayan tiap bulan tiga kali itu patut diduga sebagai perbuatan pungli. Pihaknya menpertanyakan itu sebagai membayar atau pungutan liar.
“Saya berharap permasalahan yang menimpa nelayan kecil ini bisa selesai dan klir. Kalau tidak diselesaikan dengan baik akan tetap kami kejar,” kata Didik menegaskan.
Pada kesempatan yang sama Ketua KUD Makaryo Mino, Mofid membeberkan bahwa jaminan BPKB dan sertifikat tanah yang dijaminkan itu memang sengaja ditumpuk saja oleh petinggi pada saat itu.
“Jadi nelayan ini menjadi korban informasi pembodohan petinggi pada saat itu. Pembodohan itu dilakukan oleh orang yang ingin dapat bantuan juga. Ada yang bilang ke saya sertifikat ditumpuk kanggo apik-apik seng penting utange metu, sayangnya semua yang terlibat pada kasus itu sudah mati, kan susah juga,” urainya.
Untuk itu dirinya setuju sertifikat bisa ditarik melalui solusi pemutihan, maka langkah pertama yang bisa diambil adalah duduk bersama. Karena yang penting itu bagaimana sertifikat bisa keluar tapi tidak melanggar Undang-Undang yang ada.
“Undang-Undang yang mengikat apa di cari celah hukumnya. Sehingga kita dalam satu sisi sertifikat bisa keluar dalam satu sisi selamat dari aturan. Kalau tidak bisa, kita mencari pembanding atau dikonsultasikan terlebih dahulu ke biro hukum provinsi atau biro hukum pusat,” kata Mofid menyarankan.
Adapun kalau mau mencari oknumnya silahkan saja namun perkara tersebut terjadi dari 2006 dan sekarang sudah 2024. Kalau sudah di atas 19 tahun kasus sudah hangus, kalau buron 23 tahun. Tapi kalau kasus KPK itu 19 tahun nanti hangus, dan sudah tidak bisa di lacak.
Sementara itu Asisten II Sekda Kota Pekalongan Joko Purnomo saat mengakhiri mediasi berjanji akan merapatkan hasil mediasi lebih lanjut untuk mencarikan solusi permasalahan yang dihadapi nelayan.
“Pada dasarnya kami berusaha mecari solusi pengembalian sertifikat tanah milik nelayan namun tanpa melanggar aturan hukum,” katanya. (*)